Banner Static

Minggu, 27 September 2015 - 19:01


Tauhid Sebagai Prinsip Tata Ekonomi Islam

Oleh : Agustianto

Fondasi utama seluruh ajaran Islam adalah tauhid. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktivitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun  budaya. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tauhid merupakan filsafat fundamental dari ekonomi Islam. (39 : 38 ).

Hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.

Dalam konteks ini Ismail Al- Faruqi mengatakan, “ it was al- tauhid as the first principle of the economic order that created the first “ welfare state” and Islam that institutionalized that first socialist and did more for social justice as well as for the rehabilitation from them to be described in terms of the ideals of contemporary western societies”.

( Tauhidlah sebagai prinsip pertama tata ekonomi yang menciptakan “ negara sejahtera” pertama, dan Islamlah yang melembagakan sosialis pertama dan  melakukan lebih banyak  keadilan sosial. Islam juga yang pertama merehabilitasi (martabat) manusia. Pengertian (konsep) yang ideal ini tidak ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini ).

Konsep tauhid yang menjadi dasar filosofis ini, mengajarkan dua ajaran utama dalam ekonomi.

Pertama, Semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Manusia hanya sebagai pemegang amanah (trustee) untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.

Dalam mengelola sumberdaya itu manusia harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk syari’ah. Firman Allah, “Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah  dalam berbagai urusan, maka ikutilah syariah itu, Jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tak mengetahui” (QS:1Al-Jatsiyah 18)

Dengan demikian, setiap pengelolaan sumber daya dan setiap cara dan usaha mencari rezeki harus sesuai dengan aturan Allah. Demikian pula membelanjakannya seperti spending, investasi dan tabungan harus sesuai dengan syari’ah Allah. Inilah implikasi dari konsep tauhid atau teologi ekonomi Islam

Bunga (interest) yang memastikan usaha harus berhasil (untung) bertentangan dengan tawhid. Firman Allah, “Seseorang tidak bisa memastikan berapa keuntungannya besok”,(Ar-Rum : 41) Padahal setiap usaha mengandung tiga kemungkinan, yaitu untung, impas atau rugi. Lebih dari itu, tingkat keuntungan pun bisa berbeda-beda, bisa besar, sedang atau  kecil. Jadi, konsep bunga benar-benar tidak sesuai dengan syari’ah, karena bertentangan dengan prinsip tawhid.

Kedua, Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah,  dapat  memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam, sumber daya – sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung ( tak terbatas ) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “ Dan jika kamu menghitung – hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bisa menghitungnya”. ( QS. 14: 34 )

Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam terbatas ( limited ). Sedangkan dalam ekonomi Islam, sumberdaya alam banyak dan melimpah. Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan karena terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidakadilan sumber daya ( ekonomi ). Banyak sekali ayat Al- qu’an menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif dimaksudkan  untuk kehidupan manusia.

Selanjutnya konsep tauhid ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, menggunakan sarana dan sumber daya sesuai syariat Allah. Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, ekspor – impor bertitik tolak dari tauhid ( keilahian ) dan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan falah guna mencapai ridha Allah. 

Kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi, maka itu tidak lain karena memenuhi perintah Allah. “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya kami dikembalikan”. (QS. Al-Mulk: 15).

Ketika memproduksi sumber daya pertanian, misalnya, seorang muslim menganggap bahwa pekerjaannya itu adalah ibadah kepada Allah. Demikian pula ketika berdagang, bekerja di pabrik atau perusahaan. Semuanya dalam bingkai ibadah kepada Allah. Makin tekun ia bekerja, makin tinggi nilai ibadah dan takwanya kepada Allah.

Tauhid dalam produksi juga mengajarkan bahwa barang-barang yang diproduksi adalah barang yang baik dan halal. Pelaku ekonomi yang bertauhid, tidak akan mau memproduksi rokok, miras apalagi narkoba serta barang-barang haram lainnya. Dalam bidang jasa, pelaku ekonomi yang bertauhid tidak akan membuka perhotelan yang penuh maksiat, hiburan (diskotik) dan wisata yang sarat kemungkaran, lokasi perjudian, pelacuran, dsb. Semua itu harus dihindarkan karena bertentangan dengan syariat Allah.

Ketika seorang muslim hendak membeli, menjual, dan meminjam,  ia selalu tunduk pada aturan-aturan syariah. Ia tidak membeli atau menjual produk dan jasa-jasa haram, memakan uang haram (riba), memonopoli milik rakyat, korupsi, ataupun melakukan suap menyuap.

Ketika seorang muslim memiliki harta dan ingin menginvestasikannya agar produktif, ia tidak akan menginvestasikannya secara ribawi di lembaga-lembaga finansial yang berbasis bunga. Ia juga tidak akan menggunakannya untuk bisnis spekulasi di pasar modal atau pasar uang (money changer dan bank devisa). Seorang muslim akan menginvestasikannya berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah seperti skim mudhabarah, musyarakah. Dan bentuk investasi syariah lainnya.

Ketika seseorang mengkonsumsi sesuatu, ia tidak berlebih-lebihan, israf dan mubazzir, karena perilaku tersebut dilarang dalam agama Islam. (QS.17:36)  Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan ( QS.17:27 ) dan serakah adalah perilaku binatang. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.

Ketika seorang muslim mempunyai sejumlah harta, ia tidak memakannya sendiri,

karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta  diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat sesuai dengan aturan syariah. Masyarakat berhak untuk menerima distribusi itu.

Kekayaan etika (akhlak) ekonomi Islam dalam kegiatan ekonomi seperti yang digambarkan di atas sama sekali tidak diajarkan dalam ekonomi kapitalisme. Karena menurut faham ini, memasukkan gatra nilai etis dalam ekonomi dinilai tidak relevan.

Tawhid memiliki hubungan yang kuat dengan prinsip-prnsip  ekonomi Islam yang lain, seperti keadilan, persamaan, distribusi dan hak milik sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

Copyright © 2024 Iqtishad Consulting
Truly Partner for Sharia Innovative Product
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Perbankan dan Keuangan Syariah
All Right Reserved
IQTISHAD CONSULTING