Banner Static

Selasa, 13 Oktober 2015 - 6:42


An Introduction To Fiqh Muamalah

Oleh: Agustianto

 

Islam sebagai ad-din adalah agama yang universal dan komprehensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di muka bumi dan dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna (syumul). Kesempurnaan ajaran Islam,  dikarenakan Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek spiritual (ibadah murni), tetapi juga aspek mu’amalah yang meliputi ekonomi, sosial, politik, hukum, dan sebagainya.

Al-Qur’an secara tegas mendeklarasikan kesempurnaan Islam tersebut dalam berbagai ayat, antara lain  surah al-Maidah ayat 3 :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

 

“Pada  hari ini Kusempurnakan bagi kamu agamamu dan Kusempurnakan bagi kamu nikmatKu dan Aku ridho  Islam itu sebagai agama kamu”.

 

Selanjutnya dalam surah Al-An’am ayat 38 dan An-Nahl ayat 89 :

 

 

مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ

 

Sedikitpun  tidak kami lupakan di dalam kitab suci Al-Qur’an (QS. 6:38).

 

 

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

 

“Kami menurunkan Al-Qur’an kepadamu untuk menjelaskan  segala sesuatu, menjadi petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang islam”  (QS.16:89).

 

Kesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam is much more than a system of theology it’s a complete civilization.”

Maka, adalah tidak relevan bila terdapat anggapan yang memandang Islam sebagai agama ritual an sich, apalagi menganggapnya sebagai sebuah penghambat kemajuan pembangunan (an obstacle to economic growth). Pandangan yang demikian, disebabkan mereka belum memahami Islam secara utuh.

Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam meliputi tiga pokok ajaran, yaitu Aqidah, Syari’ah dan akhlak, Hubungan antar aqidah, syari’ah dan akhlak dalam sistem Islam terjalin sedemikian rupa sehingga merupakan sebuah sistem yang komprehensif.

Aqidah adalah ajaran yang berkaitan dengan keyakina dan kepercayaan seseorang terhadap Tuhan, Malaikat, Rasul, Kitab dan rukun iman lainnya. Akhlak adalah Islam tentang prilaku baik-buruk, etika dan moralitas. Dua bidang ini (aqidah dan akhlak) bersifat konstan tetap da tidak mengalami perubahan dalam menghadapi perkembangan zaman dan perbedaan tempat. Sedangkan syari’ah adalah ajaran Islam tentang hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang disampaikan melalui lisan para rasul. Dalam konteks ini syari’ah dapat berubah dan berkembang sesuai dengan perkembanga zaman dan peradaban yang dihadapi para Rasul Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits.

“Para Rasul adalah bersaudara bagaikan saudara seibu, syari’a  banyak, tetap  agama mereka (aqidah) satu,  yaitu mentauhidka  Allah” (H.R Bukhari, Abu Daud dan Ahmad).

Syari’ah Islam terbagi kepada dua macam, yaitu ibadah dan mu’amalah. Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan khaliqnya, Ibadah juga merupakan medium untuk mengingatkan secara kontiniu tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sedangkan muamalat diturunkan untuk menjadi rules of the game, atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial, ekonomi,  politik, dan sebagainya. lam.

Ciri khas aspek muamalat adalah cakupannya yang luas dan bersifat elastis, dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat. Ajaran muamalat yang bermakna ekonomi lebih tampak sifat universalnya, karena muamalat dalam konteks ini tidak membeda-bedakan muslim dan non-muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diucapkan Ali :

“ Dalam bidang muamalat kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita”.

Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan  masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi).

Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga  menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.

 

عليكم  بالتجارة  فان  فيها  تسعة  اعشار الرزق

( رواه  احمد)

 

“ Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu rezeki ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad)

 

ان أطيب الكسب  كسب التجار

”Sesungguhnya sebaik-baik usaha/profesi adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi) (Sumber Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, tp, tt, hlm 86.)

 

Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan  kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya.  Selain dalam kitab-kitab  fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.

Prof. Dr. Muhammad N. Ash-Shiddiqy, dalam buku “Muslim Economic Thinking” meneliti 700 judul buku yang membahas ekonomi Islam. (London, Islamic Fountaion, 1976)

Dr. Javed Ahmad Khan dalam buku Islamic Economics & Finance : A Bibliografy, (London, Mansell Publisihing Ltd) , 1995 mengutip 1621 tulisan tentang Ekonomi Islam,

Seluruh kitab fikih Islam membahas masalah muamalah, contoh : Al-Umm (Imam Syafi’i), Majmu’ Syarah Muhazzab (Imam Nawawi), Majmu Fatawa (Ibnu Taimiyah). Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang kajian muamalah. Oleh karena itulah maka Prof. Dr.Umer Ibrahim Vadillo (intelektual asal Scotlandia)  pernah menyatakan dalam ceramahnya di Program Pascasarjana  IAIN Medan,  bahwa 1/3 ajaran Islam tentang muamalah.

Materi kajian ekonomi Islam pada masa klasik Islam itu cukup maju dan berkembang. Prof. Dr. M.M. Shiddiqi dalam hal ini menuturkan :

“Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan/Supply and demand, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya.”(Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking,  A Survey of Contemporary Literature, dalam buku  Studies in Islamic Economics, International Centre for Research in Islamic Economics King Abdul Aziz Jeddah  and The Islamic Foundation, United Kingdom,  1976, hlm. 261.)

Boulakia bahkan menyatakan bahwa Ibnu Khaldun jauh mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus.

Ibnu Khaldun  discovered  a great number  of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered  the virtue and the necessity  of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated  a theory  of population before Malthus and insisted  on the role  of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation…..[1]. (Sumber Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5) September –October 1971: 1105-1118

(Artinya, “Ibn Khaldun telah  menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia  menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk  membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…:”)

 

Demikian gambaran maju dan berkembangnya ekonomi Islam di masa lampau.Tetapi sangat disayangkan, dalam waktu yang relatif panjang yaitu sekitar 7 abad ( sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20 ), ajaran –ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islam terbenam dalam limbo sejarah dan mengalami kebekuan ( stagnasi ). Dampak selanjutnya, ummat Islam tertinggal  dan terpuruk dalam bidang ekonomi. Dalam kondisi yang demikian, masuklah kolonialisme barat mendesakkan dan mengajarkan doktrrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sd abad 20. Proses ini berlangsung lama, sehingga paradigma dan sibghah ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme. Padahal ekonomi syari’ah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Al-Quran

Firman Allah tersebut terdapat dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 :

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ

”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syriah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”

Sikap ummat Islam (utamanya para ulama dan intelektual muslim) yang mengabaikan kajian-kajian muamalah sangat disesalkan oleh ulama (para ekonom muslim). Prof. Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi mengatakan dalam buku  ”Muslim Economic Thinking”, sebagai berikut

 

“The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the world scene for  a thousand years  could not have been unaccompanied  by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century  to Tusi and Waliullah  we get a contiunity of serious  discussion on taxation,  government expenditure,  home economics, money  and exchange, division of labour, monopoly, price control,  etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centres of academic research in economics. (Muslim Economic Thingking, Islamic Fondation United Kingdom, 1976, p 264)

Artinya, “Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide (pemikiran) ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah  kita memiliki kesinambungan dari serentetan  pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja , monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh  yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi”.

 

 

 

 

Kebangkitan Kembali Ekonomi Islam

Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah.

Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah fantastis  15 % setahun. Kinerja bank – bank Islam cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yanag berpusat di Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah membuka unit-unit syariah.

Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough Universitas Wales, Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga populer di Amerika Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini  Harvard University sebagai universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan  Harvard University Forum yang membahas tentang ekonomi Islam.

Di Indonesia, bank Islam baru hadir pada tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan  syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang berakibat pada likuidas, kecuali babk Islam.

Pada November 1997, 16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa­nan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.

Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI) 700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi  dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi.

Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melak­ukan kebijakan uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kred­it, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga berlang­sung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 mil­yard, dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%).

Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah.

Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang  konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain  bank Syariah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan Ahad – Net Internasional yang bergerak di bidang sektor riel.

Kalau pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah yang bebas riba..

Kedudukan Ekonomi Islam (muamalah) dalam Syariah

 

Ekonomi Islam (muamalat) menduduki posisi yang sangat penting dalam ajaran Islam. Prof. Dr. Muhammad ”Assal dan Prof.Dr. Fathi Ahmad menulis dalam buku , An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam sebagai berikut :

ان الاقتصاد الاسلامي جزء من نظام الاسلام الشامل اذا كان الاقتصاد الوضعي -بسبب ظروف نشأته- قد انفصل تماما عن الدين فان أهم ما يميز الاقتصاد الاسلامي هو ارتباطه التام بدين الاسلام عقيدة و شريعة

 

Sesungguhnya ekonomi Islam adalah bagian integral dari sistem Islam yang sempurna. Apabila ekonomi konvensional –dengan sebab situasi kelahirannya- terpisah secara sempurna dari agama. Maka keistimewaan terpenting  ekonomi Islam adalah keterkaitannya secara sempurna dengan Islam itu sendiri, yaitu aqidah dan syariah. (Prof. Dr. Ahmad Muhammad ‘Assal & Prof.Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim, , Cairo, 1977, hlm.17-18).

 

Muhammad Rawwas Qal’ah menuturkan pandangan yang sama tentang kedudukan ekonomi Islam tersebut.

 

واذا كان جزءا من الاسلام الشامل فانه لا يمكن فصله عن بقية الانظمة الاسلامية من عقيدة وعبادة و أخلاق

 

Apabila ekonomi Islam menjadi bagian dari Islam yang sempurna, maka tidak mungkin memisahkannya dari sistem aturan Islam yang lain ; dari aqidah, ibadah dan akhlak (Mabahits fil Iqtishad al-Islamiy, hlm. 54)

 

Selanjutnya, Ahmad Muhammad Assal dan Fathi Ahmad mengatakan :

وبناء على هذا فانه لا ينبغي لنا ان ندرس الاقتصاد الاسلامي مستقلا عن عقيدة الاسلام و شريعته  لأن النظام الاقتصادي الاسلامي جزء من الشريعة ويرتبط كذالك بالعقيدة ارتباطا أساسيا

Berdasarkan ini, maka tidak boleh kita mempelajari ekonomi Islam secara berdiri sendiri yang terpisah dari aqidah Islam dan syariahnya, karena sistem ekonomi Islam bagian dari syariah Islam. Dengan demikian ia terkait secara mendasar dengan aqidah (Prof. Dr. Ahmad Muhammad ‘Assal & Prof.Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam, Cairo, 1977, hlm.17

 

Sementara itu, Dr.Abdul Sattar Fathullah Sa’id menyebutkan bahwa ajaran muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran Islam. Sebagaimana yang ian tuturkan dalam kitab Al-Mu’amalah fil Islam :

 

 

ومن ضرورات هذا الاجتماع الانسان وجود معاملات ما بين أفراده و جماعته

ولذالك جاءت الشريعة الالهية لتنظيم هذه المعاملات  وتحقيق مقصودها والفصل بينهم

Artinya :

n  Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia adalah “Muamalah”, yang mengatur hukum antara individu dan masyarakat

n  Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukumnya kepada mereka

 

Menurut ulama Abdul Sattar di atas,  para ulama sepakat tentang mutlaknya ummat Islam memahami dan mengetahui hukum muamalah maliyah (ekonomi syariah)

 

قد أتفق العلماء على أن المعاملات نفسها ضرورة بشرية

 

Artinya : Ulama sepakat bahwa muamalat itu sendiri adalah masalah kemanusiaan yang maha penting (dharuriyah basyariyah

Samir Abdul Hamid Ridwan, dalam buku Aswaq al-Awraq al-Maliyah menuliskan :

 

ان شقى الشريعة الاسلامية و هما العبادات و المعاملات يرتبطان ارتباطا عضويا و موضوعيا  ببعضهما البعض

 

Artinya : Sesungguhnya dua sisi syariah Islam ialah ibadat dan muamalat. Keduanya terkait laksana satu tubuh dan keduanya satu tujuan, (yaitu dalam rangka ibadah dan ketaatan kepada Sang Khalik Allah Swt). (Samir Abdul Hamid Ridwan, Aswaq al-Awraq al-Maliyah, IIIT, Cairo, 1996, hlm. 166)

 

ان الاقتصاد الاسلامي  نظام رباني وكل طاعة  لبند من بنود هذا النظام هو طاعة الله تعالى وكل طاعة لله هي عبادة فتطبيق النظام الاقتصاد الاسلامى عبادة

 

Artinya : Sesungguhnya ekonomi Islam adalah aturan Tuhan. Setiap ketaatan terhadap aturan ini merupakan ketaatan kepada Allah Swt. Setiap ketaatan kepada Allah adalah ibadah. Jadi menerapkan sistem ekonomi Islam adalah ibadah (Muhammad Rawwas Qal’ah, Mabahits fil Iqtishad al-Islamiy, Kuwait Darun Nafas, 2000, hlm.55)

 

Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan :

ومن هنا يتضح أن المعاملات هي من لب مقاصد الدينية لاصلاح الحياة البشرية ولذالك دعا اليها الرسل من قديم باعتيارها دينا ملزما لاخيار لأحد فيه.

 

Artinya : Dari sini jelaslah bahwa “Muamalat” adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para Rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan, Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk tidak mengamalkannya.(Hlm.16)

 

Dalam konteks ini Allah berfirman :

 

وَإِلىَ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهِ غَيْرُهُ وَلاَتَنقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِنِّي أَرَاكُم بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُّحِيطٍ {84} وَيَاقَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلاَتَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَآءَهُمْ وَلاَتَعْثَوْا فِي اْلأَرْضِ مُفْسِدِينَ

 

Artinya :

n  ‘Dan kepada penduduk Madyan, Kami utus saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, “Hai Kaumku sembahlah Allah, sekali-kali Tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)”.

n  Dan Syu’aib berkata,”Hai kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85)

 

Dua ayat di atas mengisahkan perdebatan kaum Nabi Syu’aib dengan umatnya yang mengingkari agama yang dibawanya. Nabi Syu’aib  mengajarkan I’tiqad dan iqtishad (aqidah dan ekonomi). Nabi Syu’aib mengingatkan mereka tentang kekacauan transaksi muamalah (ekonomi) yang mereka lakukan selama ini.

Al-Quran lebih lanjut mengisahkan ungkapan umatnya yang merasa keberatan diatur transaksi ekonominya.

 

قَالُوا يَاشُعَيْبُ أَصَلَوَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَايَعْبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَانَشَاؤُا إِنَّكَ لأَنتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ

Artinya :

Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kamu meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyangmu atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang penyantun lagi cerdas”.

 

n  Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan muamalah

n  Ayat ini juga menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh sekehendak hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah, yang disebut dengan syari’ah.

 

Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat manusia tidak boleh sekehendak hati mengelola hartanya, tanpa aturan syari’ah. Syariah misalnya secara tegas mengharamkan bunga bank. Semua ulama dunia yang ahli ekonomi Islam (para  Professor dan Doktor ekonomi Islam) telah ijma’ mengharamkan bunga bank. (Baca tulisan Prof.Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof.Ali Ash-Sjabuni, Prof Muhammad Akram Khan). Tidak ada perbedaan pendapat pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Segelinitiur tokoh ulama yang membolehkannya disebabkan mereka bukan pakar ilmu ekonomi Islam. Mereka hanya pakar fiqh yang tidak memiliki disiplin ilmu atau pendidikan ekonomi Islam.  Lahirnya bank-bank Islam dan lembaga keuangan Islam yang bebas bunga, merupakan hasil ijtihad mereka yang luar biasa. Jika banyak umat Islam yang belum faham tentang bank syariah atau secara dangkal memandang bank Islam sama dengan bank konvensianal, maka perlu edukasi pembelajaran atau pengajian muamalah, agar tak muncul salah faham tentang syariah.

 

Muamalah adalah Sunnah Para Nabi

Berdasarkan ayat-ayat di atas, Syekh Abdul Sattar menyimpulkan bahwa hukum muamalah adalah sunnah para Nabi sepanjang sejarah.

وهذه سنة مطردة في الانبياء عليهم السلام كما قال تعالى

 

Artinya : Muamalah ini adalah sunnah yang terus-menerus dilaksanakan para Nabi AS, (hlm.16), sebagaimana firman Allah

 

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

 

Artinya :

Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat menegakkan keadilan itu.

Fardhu ‘Ain Mempelajari Pokok-Pokok Muamalah

Tujuan : menjelaskan bahwa hukum mempelajari pokok-pokok muamalah adalah fardhu ’ain

Pokok Bahasan : Fardhu ‘Ain Mempelajari Pokok-Pokok Muamalah

Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.

Husein Shahhatah, selanjutnya menulis,  “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk Allah semata” Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun untuk menjadi  expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah

Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :

 

لا يبع في سوقنا  الا من قد تفقه في الدين

“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi)

Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa umat Islam, tidak boleh beraktifitas bisnis, kecuali faham tentang fikih muamalah Tidak boleh berdagang, kecuali faham fikih muamalah. Tidak boleh beraktivitas perbankan, kecuali faham fiqh muamalah. Tidak boleh beraktifitas asuransi, kecuali faham fiqh muamalah. Tidak boleh beraktifitas pasar modal, kecuali faham fiqh muamalah. Tidak boleh beraktifitas koperasi, kecuali faham fiqh muamalah. Tidak boleh beraktifitas pegadaian, kecuali faham fiqh muamalah. Tidak boleh beraktifitas reksadana, kecuali faham fiqh muamalah. Tidak boleh beraktifitas bisnis MLM, kecuali faham fiqh muamalah. Tidak boleh beraktifitas jual-beli,   kecuali faham fiqh muamalah. Tidak boleh bergiatan ekonomi apapun, kecuali  faham fiqh muamalah.

Demikian pentingnya mempelajari fiqh muamalah dan ekonomi Islam, sehingga sangat tepat jika para ulama mengatakan bahwa hukum mempelajarinya fardhu ‘ain bagi setiap muslim. Sedangkan untuk menjadi pakar (ahli) di bidang muamalah (ekonomi Islam) hukumnya fardhu kifayah.

Pengetian Muamalah dan Ekonomi Islam

Tujuan : menjelaskan pengertian  muamalah dan ekonomi Islam

 

Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas, sebagaimana dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa, yaitu Peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan dita’ati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”. Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak dipahami sebagai“Aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda”atau lebih tepatnya “aturan Islam  tentang kegiatan ekonomi manusia”

 

Di zaman modern sekarang ini, khususnya 40 tahun belakangan ini, aspek muamalah meluas dan berkembang menjadi disiplin ilmu khusus dan tersendiri yakni  islamic economics yang meliputi ekonomi makro, mikro, manajemen, akuntansi, dan ilmu-ilmu alat seperti statistik dan ekonometrik. Dengan demikian cakupan dan ruang lingkup muamalat tidak saja bernuansa fiqh yang normatif, tetapi juga dengan nuansa positivisme empirisme yang didasarkan riset ilmiah dan metodologi keilmuan modern, namun tetap dalam koridor syariah.dan menjadikan Al-Quran dan Sunnah serta dalil-dalil lain sebagai sumber.

Karena itulah di sini perlu diuraikan beberapa definisi tentang ekonomi Islam.

Dalam bahasa Arab, kata yang digunakan untuk istilah ekonomi adalah Iqtishad, yang artinya: hemat dan penuh perhitungan. Seorang yang hemat tentunya penuh perhitungan dan mempunyai pilihan-pilihan dalam menggunakan sumberdaya. Oleh karena kemiripan makna iqtishad dengan ekonomi, maka para ahli bahasa menyebut istilah ekonomi dengan iqtishad.

Secara istilah (terminolgi) sejumlah ulama telah mendefisinikan ekonomi Islam  tersebut :

Pertama, M.Akram Khan merumuskan pengertian ekonomi Islam sebagai berikut:

“Islamic economics aims ta the study of human falah (well-being) achieved by organizing the resources of the eatrh on the basic of cooperatian and participation.”

(Ilmu ekonomii Islam bertujuan untuk melakukan kajian tentang kebahagian hidup manusia (human falah) yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya alam atas dasar gotong royong dan partisipasi).

Defenisi M.Akram Khan di atas tampaknya mengarahkan secara tegas tujuan kegiatan ekonomi manusia menurut Islam, yakni human falah (kebahagian manusia), tentunya dengan mengikut syari’ah Allah.

Jadi, Akram Khan ingin memberikan muatan normatif dalam tujuan-tujuan aktivitas ekonomi, yakni kebahagian atau kesuksesan hidup manusia yang tidak saja duniawi tetapi juga ukhrawi. Aspek positif dalam defenisi di atas terdapat dalam kata, “mengorganisasi sumber daya alam.” Ungkapan kata ini, menurut Dawam Raharjo, menjelaskan bahwa aspek bahasan ilmu ekonomi Islam itu sejalan dengan defenisi ekonomi modern.  Selanjutnya secara implisit defenisi Akram, menjelaskan cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan itu, yakni kerja sama (ta’awun) dan partisipasi.

Kedua, Prof.Dr.Muhammad Abdul Mannan dalam buku Islamics Economics, theory and practice, mengatakan,

“Islamics Economics is Social science which studies the economics problems of a people imbued with the values of Islam”

(Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam).

Ketiga, Prof. Dr. M. Umer Chapra mengatakan,

“Islamic economics was defined as that branch of knowledge which helps realize human well-being through an allocation and distribution of scare resources that is in conformity with islamics teachings whithout unduly curbing individual freedom or creating continued macroeconomic and ecological imbalances”.

(Ekonomi Islam didefenisikan sebagai sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagian manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yangterbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu ( Leissez Faire) atau tanpa prilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan).

Keempat, Prof. Dr. Kursyid Ahmad, pakar ekonomi Pakistan, mengatakan, “Islamic economics is a systematic effort to thy to understand the economics problem and man’s behavior in relation to that problem from an Islamic perspective”.

(Ilmu ekonomi Islam adalah sebuah usaha sistematis untuk memahami masalah-masalah ekonomi dan tingkah laku manusia secara relasional dalam pertspektif Islam)

Kelima, Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, merumuskan,

“ Islamic economics is the muslim thinker’s response to the economic challenges of theirtime. In this endeavour they were aided by the qur’an and the sunnah as well as  by reason and experience”

(Ilmu ekonomi Islam adalah respon pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada masa tertentu. Dalam usaha keras ini mereka dibantu oleh Al-Qur’an dan Sunnah, akal (ijtihad) dan pengalaman).

Keenam, sementara itu menurut Hasanuzzaman, seorang bankir Pakistan, dalam artikelnya Definition of Islamic Economics mengatakan,

“Islamic economics is the knowledge and application of injunction and rules of the Syari’ah that prevent injustice in the acquistition and disposal of material resources order to provide satisfaction to human and them to perform their obligations to Allah and the society”.

(Ilmu Ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan perintah-perintah (injunction) dan tatacara (rule) yang ditetapkan oleh yang ketidakadilan dalam penggalian penggunaan sumberdaya material guna kebutuhan manusia, yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat).

Ada dua unsur yangharus dicatat dari defenisi di atas, Pertama, pengertian ekonomi itu sendiri, yakni pengetahuan tentang penggalian dan penggunaan sumberdaya material, guna memenuhi kebutuhan manusia. Kedua, mengenai implementasi perintah-perintah dan tatacara yang ditetapkan syari’at dalam kegiatan ekonomi dalam rangka melaksanakan kewajiban kepada Allah dan masyarakat.

Ketujuh, Syed Nawab Haider naqvi merumuskan defenisi Ekonomi Islam sbb:

“Islamic economics is the representative Muslim’s behaviour in a typical Muslim society”.

(Ilmu Ekonomi Islam adalah representasi perilaku ummat Islam dalam masyarakat muslim).

Kedelapan, DR. Munawar Iqbal, sebagaimana dikutip Dewan Raharjo, mengatakan,

“Ekonomi Islam adalah sebuah disiplin ilmu yang mempunyai akar dalam syari’at Islam. Islam memandang wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling utama. Prinsip-prinsip dasar yang dicantumkan dalam Al Quran dan Hadist, adalah batu ujian untuk menilai teori-teori ekonomi modern dan untuk mengembangkan teori- teori baru berdasarkan doktrin ekonomi Islam. Dalam hal ini sebuah himpunan hadist merupakan sebuah buku sumber yang sangat berguna”.

Kesembilan, Prof.Dr.Ziauddin Ahmad, ekonom Pakistan, merumuskan bahwa ekonomi Islam pada hakekatnya adalah upaya pengalokasian sumber-sumber daya untuk memproduksi barang dan jasa sesuai petunjuk Allah Swt untuk memperoleh ridha Nya.

Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu ekonomi Islam itu mempelajari aktivitas atau perilaku manusia secara aktual dan empirical, baik dalam produksi, distribusi maupun konsumsi berlandaskan syari’ah Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah dengan tujuan untuk mencapai kebahagian duniawi dan ukhrawi.

Dari defenisi itu terlihat bahwa ekonomi Islam bukan sekedar etika dan nilai yang bersifat normatif, tetapi juga bersifat positif sekaligus. Karena ia mengkaji aktivitas aktual manusia, problem-problem ekonomi masyarakat dalam perspektif Islam.

Dari beberapa defenisi di atas, baik defenisi ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam, dalam banyak hal, memiliki kesamaan dengan ilmu ekonomi konvensional, yakni sama-sama menyelidiki perilaku manusia dalam kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi yang menyangkut pilihan terhadap sumberdaya tersebut guna memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi dalam ekonomi Islam tujuan aktivitas ekonomi ditetapkan dengan jelas, yaitu bmencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi yang seimbang (falah),  juga untuk mewujudkan keadilan sosial-ekonomi.

Dalam Islam, tujuan kegiatan ekonomi hanyalah merupakan target untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yakni keridhaan Allah. Ilmu ekonomi Islam memperhatikan dan menerapkan syari’ah dalam perilaku ekonomi dan dalam pembentukan sistem ekonomi. Ilmu ekonomi Islam tidak hanya merupakan pengetahuan normatif, tetapi juga positif, yakni menganalisis kegiatan ekonomi (perilaku) manusia secara empiris. Karena itu ekonomi Islam akan mengkaji perilaku konsumsi, perilaku produksi, mekanisme pasar , supply dan demand, dan sebagainya.

Ruang Lingkup Fiqh Muamalah

Harta, Hak Milik, Fungsi Uang dan ’Ukud )akad-akad)

Buyu’ (tentang jual beli)

Ar-Rahn (tentang pegadaian)

Hiwalah (pengalihan hutang)

Ash-Shulhu (perdamaian  bisnis)

Adh-Dhaman (jaminan, asuransi)

Syirkah (tentang perkongsian)

Wakalah (tentang perwakilan)

Wadi’ah (tentang penitipan)

‘Ariyah (tentang peminjaman)

Ghasab (perampasan harta orang lain dengan tidak shah)

Syuf’ah (hak diutamakan dalam syirkah atau sepadan tanah)

Mudharabah (syirkah modal dan tenaga)

Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun)

Muzara’ah (kerjasama pertanian)

Kafalah (penjaminan)

Taflis (jatuh bangkrut)

Al-Hajru (batasan bertindak)

Ji’alah (sayembara, pemberian fee)

Qaradh (pejaman)

Ba’i Murabahah

Bai’ Salam

Bai Istishna’

Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith

Ba’i Sharf  dan transaksi valas

’Urbun (panjar/DP)

Ijarah (sewa-menyewa)

Riba, konsep uang dan kebijakan moneter

Shukuk (surat utang  atau obligasi)

Faraidh (warisan)

Luqthah (barang tercecer)

Waqaf

Hibah

Washiat

Iqrar (pengakuan)

Qismul fa’i wal ghanimah (pembagian fa’i dan ghanimah)

ََََََُQism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat)

Ibrak (pembebasan hutang)

Muqasah (Discount)

Kharaj, Jizyah, Dharibah,U

Copyright © 2024 Iqtishad Consulting
Truly Partner for Sharia Innovative Product
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Perbankan dan Keuangan Syariah
All Right Reserved
IQTISHAD CONSULTING