Banner Static

Sabtu, 4 November 2023 - 4:50


*UPAYA MENATA HUTAN INDONESIA DAN PENYELESAIAN PERIZINAN KEGIATAN USAHA DI KAWASAN HUTAN*

*UPAYA MENATA HUTAN INDONESIA DAN PENYELESAIAN PERIZINAN KEGIATAN USAHA DI KAWASAN HUTAN*

 

(Implementasi UU Cipta Kerja dan PP No 24/2021 tentang Tata Cara Penyelesian Sanksi Administratif dan tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan)

 

Oleh : Associate Professor Agustianto, Presiden Direktur Iqtishad Consulting Indonesia dan Ketua Umum Masyarakat Peduli Agraria (MASPERA)

 

Landasan filosofis UU dan Regulasi Kehutanan

Pertama, Penyelenggaraan kehutanan dilakukan sejalan dengan FALSAFAH BANGSA DAN NEGARA PANCASILA dan Amanat UUD 45 Pasal 33 ayat (3) yang mewajibkan agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Karena itulah penyelenggaraan kehutanan di Indonesia senantiasa mengandung jiwa ketuhanan (maqashid syariah), dan semangat kerakyatan, serta  berkeadilan dan berkelanjutan (sustainable).

Hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;

Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;

Negara memberi wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, 2. kawasan hutan, dan 3  hasil hutan, 4. menetapkan kawasan hutan dan/atau 5 mengubah status kawasan hutan,6 mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.

 

Kedudukan Hutan dalam Kehidupan Manusia.

Eksistensi dan kedudukan  hutan menjadi tumpuan keberlangsungan kehidupan bangsa-bangsa di dunia, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan iklim global.

Hutan adalah Penyangga Kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Hutan  Sebagai factor penting dalam siklus air dan berfungsi sebagai paru-paru dunia yang kaya ogsigen, sumber plasama nutfah yang kaya keanegaraman hayati, berperan dan berfungsi sebagai sumber ekonomi dan social,

Hutan juga merupakan  komponen penting dalam masalah karbon dan  daur hidrologis dunia.  Sekitar 18-20% dari emisi anthropogenic GRK dunia berasal dari “perubahan tata guna lahan dan sector kehutanan” khususnya di negara berkembang seperti Indonesia (IPCC, 2007).

Menurut UU No 41/2009, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.(Pasal 1 UU No 41/1999)

 Oleh karena itu, pemanfaatan dan penggunaannya harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukung, serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan,  hidup guna mendukung pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan bagi kemakmuran rakyat.

 

Deforestasi dan Dampak Perubahan Fungsi Hutan. 

 Bila dalam periodesasi awal Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa, maka pada tahun 2008 gelar tersebut sudah berganti sebagai Negara peghancur hutan tercepat versi Guiness book of record 2008.

Indonesia mendapat sebutan Zamrud Khatulistiwa karena memiliki hutan yang hijau-lebat. Sampai tahun 1950, sekitar 84% daratan negeri ini berupa hutan. Indonesia pun menjadi salah satu dari 10 negeri pemilik hutan alam paling perawan sejagat. Kondisi itu sekitar 70 tahun  yang lalu.

Namun, Mulai era orde baru, hutan pun tercabik-cabik. Industri kayu dan bubur kertas tumbuh tak terkendali. Setiap tahun industri ini membutuhkan kayu 74 juta meter kubik sedangkan kemampuan hutan untuk memasok bahan baku secara lestari hanya 20 juta meter kubik.

 Deforestasi dan Pembalakan liar pun merajalela, Sebagian besar hutan juga dikonversi menjadi perkebunan. Di era Suharto, sekitar 16 juta  hektar hutan dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit.

 Pasca Suharto tidak lebih baik. Buku Rekor Guiness 2008 mencatat, dalam satu jam hutan seluas 300 lapangan sepakbola hancur. Dalam sepuluh tahun hutan seluas pulau jawa raib. Studi lembaga penelitian kehutanan International Centre for International Forestry Research (CIFOR) menyatakan, dari konversi lahan gambut saja (jumlah lahan gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta hektar dan hampir separuhnya sudah rusak), Indonesia melepas 1.100 juta ton karbon dioksida (CO2) ke udara pertahun. Ini sama dengan seluruh emisi yang dikeluarkan Jerman.[7]

 Deforestasi (penebangan hutan), kebakaran hutan dan pengeringan lahan gambut disebut-sebut sebagai penyebab utama emisi Indonesia. Pertemuan internasional COP 13 dan UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali, memutuskan untuk memfokuskan diri pada penurunan emisi dari deforestasi di negara berkembang (Reducing Emissions from Deforestation (RED)) sebagai bagian dari usaha-usaha mereka untuk mengurangi perubahan iklim (UNFCCC, 2008).

Sebenarnya, jauh sebelum Forum di Balin tersebut, masalah pemanasan global mendapat perhatian dunia setelah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan oleh PBB pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro yang lebih dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit).

Selanjutnya, rapat tahunan COP (Conference Of the Party) III di Kyoto pada tahun 1997 yang diadakan oleh UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change). signal-signal risiko kerusakan hutan yang berdampak global warming kembali menjadi perhatian utama dunia.

 

“The UN Intergovernmental Panel on Forests” menemukan bahwa penyebab  dari penebangan dan degradasi hutan adalah kebijakan-kebijakan pemerintah  yang menggantikan hutan dengan perkebunan industri, seperti minyak sawit. Ini terjadi bersamaan dengan semakin majunya industri pertanian di bawah tekanan dari perkebunan monokultur.proporsional

Perubahan fungsi  lahan hutan, terlebih deforestasi memberikan kontribusi yang lebih besar pada perubahan iklim dibandingkan semua bentuk dan jenis alat transportasi

Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini adalah wujud nyata dari gagalnya model pembangunan global (global development models). Pernyataan ini telah disepakati bersama dalam konsolidasi Civil Society Organization di Jakarta pada tanggal 27 September 2007.

Indonesia merupakan negara yang laju pengrusakan hutannya tertinggi di dunia. Melalui alih fungsi hutan menjadi kawasan-kawasan HPH-HTI, industri-industri ekstratif pertambangan dan perkebunan kelapa sawit skala besar. Sawit & bubur kertas mengakibatkan lebih 24 juta hektar hutan Indonesia rusak selama periode 1990-2019

 Kawasan hutan menyusut dari 143 juta hektar menjadi 72 juta hektar akibat dikonversi menjadi peruntukan lainnya. Badan Planologi Kementerian  Kehutanan melalui citra satelit menunjukkan luas lahan yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa tahun 1999/2000 hanya tinggal 4 % saja.

 MASPERA, LKLH dan Iqtishad Consulting menyimpulkan, bahwa  Indonesia adalah Negara yang Paling Rusak hutannya di Dunia.

 -Asap dari Karhutla 2015 diperkirakan menyebabkankan 100.000 kematian dini di Asia Tenggara (Univ Harvard & Columbia).

-Menurut World Bank, Tahun 2015, kerugian ekonomi 220 Trilyun rupiah (2X biaya rekonstruksi Tsunami Aceh 2004),

-sementara tahun 2019, kerugian mencapai 73 Trilyun rupiah

 Bencana hidrometeorologi memiliki angka kejadian tertinggi dalam dua dekade terakhir. Banjir di Kalimantan Selatan di awal 2021 mengakibatkan kerugian lebih dari 1,3 Triliun Rupiah.  Dan 1/2 dari populasi orangutan Kalimantan lenyap dalam waktu 16 tahun,  dipicu ekspansi sawit yang luar biasa

 Sementara itu, Lebih dari ¾ Taman Nasional Tesso Nilo, Habitat satwa liar menjadi perkebunan sawit ilegal .

 Di Indonesia hal itu dapat dilihat dari ambiguitas sikap pemerintah masa lalu, yang disatu sisi sepakat pada  global warming untuk mencegah deforestasi dalam rangka menjawab masalah pemanasan global, disisi lain izin-izin alih fungsi lahan menjadi perkebunan skala besar (khususnya sawit) masih banyak diberikan pemerintah. Di masa Soeharto saja lebih 16 juta ha hutan diizinkan untuk kegiatan usaha sawit

Terkait dengan maraknya perusakan hutan perlu  upaya untuk  menangani perusakan hutan tsb, Upaya ini  sesungguhnya telah lama dilakukan meski belum berjalan secara efektif dan belum menunjukan hasil yang optimal. Hal itu disebabkan kurang tegasnya peraturan perundang-undangan yang ada untuk mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi.

 

Untuk mencegah efek Global Warming, Upaya penting yang perlu dilakukan adalah:

1. Mengurangi laju perusakan hutan;

2. Meningkatkan  reboisasi;

3. Mengurangi emisi methane;

4. Menggalakan perilaku hemat energi dan konservasi;

5. Meningkatkan penggunaan energi yang terbarukan sebagai sumber pasokan energy.

 

Selanjutnya penegakan dan penerapan Good Foresty Governance perlu diwujudkan. Governace  adalah  Suatu proses, mekanisme dan struktur  yang mengatur bagaimana kekuasaan (power) dijalankan untuk mengelola sumberdaya negara, guna memberikan nilai tambah secara berkesinambungan dlm jangka panjang bagi shareholders & masyarakat , sesuai peraturan perundangan & norma yg berlaku.

 

Termasuk mengatur hubungan antara negara dengan warganya, dan pelaku usaha, sehingga terhindar dari konflik dan dapat mewujudkan peluang pencapaian yang saling menguntungkan

 

Penjelasan panjang di atas memberikan landasan yang sangat kuat untuk menerapkan regulasi kehutanan yang dilakukan oleh Kementerian LHK RI.

 

Dasar Regulasi Perizinan Kehutanan :

1. Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11/2020, Pasal 110 A dan Pasal 110 B, yang mengatur tentang Penyelesaian Kegiatan Usaha yang terbangun dalam Kawasan Hutan, yang berbunyi, “_Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki peizinan di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lmbat 3 tahun sejak UU ini berlaku”*_, *Apabila melewati batas waktu tersebut akan dikenakan sanksi administratif, berupa denda administratif dan atau pencabutan izin.

Penerapan tindakan hukum atas pelanggaran Pasal 110 B, dikenakan sanksi yang berat sbb : a, Penghentian kegiatan usaha sementara, 2 Membayar denda administratif, 3. dan atau pemaksaan pemerintah dengan pemblokiran, penyitaan aset dan lelang asset perusahaan

 

2, SK Datin tahap 1-15. Yaitu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tentang Data dan Informasi kegiatan Usaha yang telah terbangun dalam kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang Kehutanan, mulai Tahap 1 - Tahap XV yang menetapkan lebih 3.500 lebih subjek hukum yang harus segera menyelesaikan perizinan dan persyaratan kegiatan usaha tersebut*

 

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara yang bertujuan untuk penanganan peningkatan tata kelola industri kelapa sawit dan serta penyelesaian dan pemulihan penerimaan Negara dari pajak dan bukan pajak pada industri kelapa sawit*

 

4. Peraturan Pemerintah (PP) No.24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Adminstrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Admisnistrasi di bidang Kehutanan diperlukan Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha (pertanian,perkebunan dan kegiatan lainnya) yang telah terbangunan dalam kawasan Hutan yang tidak memiliki perijinan dibidang kehutanan*.

 

5. Keputusan Bersama Pimpinan KPK, Kepala BAPENAS, Mendagri, Menteri PAN, Staf Kepresidenan Tahun 2018, tentang Pencegahan Korupso tahu 2019-2020.

 

Atas Dasar regulasi di atas, Kolaborasi Nasional Iqtishad Consulting, Masyarakat Peduli Agraria (MASPERA) dan Lembaga Konservasin Lingkungan Hidup (LKLH) dan didukung Kementerian LKH dan Kementerian Pertanian bersama Aliansi Indonesia menggelar Pelatihan dan Workshop Nasional Strategi Akselarasi Penyelesaian  Kegiatan Usaha dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang Kehutanan,  di Hotel Sofyan, Jakarta, tgl 31 Oktober 2023. Acara Pelatihan dan Workshop tersebut  berjalan dengan lancar dan bermanfaat serta dapat memberikan solusi terbaik bagi para Pemilik sawit, pengusaha tambang, dan pariwisata, baik perusahaan, pribadi maupun koperasi atau kelompok tani sarana pariwisata, usaha tambang yang bergiatan usaha di kawasan hutan.

 

Acara ini selanjutnya akan kembali digelar di Jakarta, awal Januari 2024, dan juga kota kota lainnya seperti Padang, Medan, Palangkaraya dan Makassar. 

Copyright © 2024 Iqtishad Consulting
Truly Partner for Sharia Innovative Product
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Perbankan dan Keuangan Syariah
All Right Reserved
IQTISHAD CONSULTING