Banner Static

Kamis, 31 Desember 2015 - 10:00


NPF : Tantangan Bank  Syariah 2016

Oleh : Agustianto Mingka

Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)

Dalam menghadapi tahun 2016, banyak tantangan yang dihadapi perbankan syariah, seperti masalah permodalan, efisiensi, inovasi produk, SDM, teknologi, layanan dan jaringan, pendanaan (funding), kualitas asset, dan sebagainya.

Salah satu permasalahan penting yang dihadapi perbankan syariah di taun 2016 adalah masalah kualitas asset, yakni bagaimana perbankan syariah mengatasi dan mencegah pembiayaan bermasalah agar bank syariah bisa menurunkan NPF dan memperbaiki kualitas assetnnya.Hal ini penting, karena di tahun 2015, NPF perbankan syariah lebih tinggi dibanding NPL  konvensional.

Semua bank di Indonesia, baik konvensional maupun syariah  dilanda pelambatan pertumbuhan penyaluran kredit  (pembiayaan) dan  diiringi pula  oleh  peningkatan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL untuk bank konvensinal dan NPF untuk perbankan syartiah.

Hal ini dikarenakan, faktor tekanan eksternal, seperti melemahnya ekonomi dunia, termasuk negara besar seperti Tiongkok dan ketidakpastian suku bunga The Fed. Dua faktor ini masih akan mempengaruhi ekonomi domestik, termasuk  sektor perbankan yang erat hubungannya dengan pembiayaan sektor riil.

Banyak pengamat dan bankir memperkirakan tahun depan (2016) ekonomi Indonesia bakal membaik, setelah tahun 2015 mengalami pelambatan. Pemerintah (Kemenkeu) juga menunjukkan optimisme akan adanya recovery di tahun 2016. Bank Indonesia juga telah mengisyaratkan bakal ada pelonggaran moneter karena melihat tekanan terhadap ekonomi makro telah mulai melonggar yang ditandai  dengan indikator inflasi yang terkendali dengan baik dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang sudah stabil.

Kendati demikian,  bank syariah harus tetap mewaspadai tren peningkatan pembiayaan bermasalah di tahun depan yang mempengarui kualitas aset (pembiayaan). Bank-bank konvensional juga menghadapi tantangan kualitas kredit yang serius. Dari berbagai media massa, semua Dirut Bank-bank BUMN menyatakan bahwa  tantangan utama 2016 adalah soal kualitas kredit (pembiayaan). Karena itulah tulisan ini memfokuskan analisa kepada masalah kualitas asset perbankan syariah, yang tujuannya meremind perbankan syariah agar lebih memperhatikan masalah NPF atau pembiayaan bermasalah.

Dengan demikian, pada tahun 2016 nanti pengelolaan pembiayaan  bermasalah tetap menjadi tantangan terbesar bagi bank-bank syariah  ke depan. Untuk menghadapi tantangan ini, Bank syariah harus terus memperketat standar underwriting dan secara proaktif memonitor nasabah dalam sektor industri yang terkena dampak perlambatan ekonomi secara umum.

Dalam menghadapi pembiayaan bermasalah bank-bank syariah harus melakukan dan menerapkan  strategi pengeloaan NPF yang jitu. Setidaknya ada 12 strategi.

Strategi pertama, Bank-bank syariah, termasuk BPR Syariah harus membentuk divisi atau bidang penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan bermasalah. Bidang ini secara khusus menangani restrukturisasi pembiayaan bermasalah.

Strategi kedua, Bank-bank syariah harus meningkatkan kompetensi SDMnya agar bisa mengatasi pembiayaan bermasalah dan mampu melakukan restrukturisasi pembiayaan secara syariah.  Bahkan SDM syariah seharusnya memiliki pengetahuan early warning system tentang pembiayaan syariah, sehingga pembiayaan bermasalah bisa diantisipasi dan diselamatkan dengan cepat.  Selain membekali SDM yang ahli dan berkompeten di bidang restrukturisasi pembiayaan, SDM bank syariah juga harus ahli dalam mencegah terjadinya pembiayan bermasalah. Jargon  Lebih baik mencegah daripada mengobati harus diterapkan agar bank-bank syariah memiliki NPF yang rendah karena kualitas pembiayaannya sehat dan bagus.

Strategi ketiga, Untuk mengelola dan menghadapi NPF  ini, Bank syariah harus terus memperketat standar underwriting dan secara proaktif memonitor nasabah dalam sektor industri yang terkena dampak perlambatan ekonomi secara umum.  

Strategi keempat, perbankan syariah harus membuat kebijakan yang ihtiyath, (hati-hati), sesuai dengan prinsip  prudential dalam pemberian pembiayaan, tidak boleh didesak oleh pengejaran target atau pengaruh lain-lain.

Jadi, tegasnya perbankan syariah harus menerapkan  serangkaian prosedur pembiayaan yang pruden, antara lain kebijakan dalam penetapan limit pembiayaan, dan pemilihan  usaha industri yang eksis dan prospektif.

Kelima, perbankan syariah harus bisa mengendalikan dominannya portfolio tertentu termasuk di dalamnya mencakup risiko konsentrasi pembiayaan sehingga risikonya bisa dimitigasi dengan baik. Jika sudah terlanjur, dapat diatasi dengan sell down atau risk participation, atau jika aktivanya berupa KPR, bank syariah bisa ikut sekuritisasi sebagian asset pembiayaan tersebut.  

Strategi keenam, perbankan syariah harus istiqamah (konsisten) dengan model bisnis. Karena itu  perbankan syariah harus meriset dan mengkaji terlebih dahulu potensi pasar dari suatu bisnis.  Jika sudah memutuskan masuk dalam suatu bisnis, maka konsistenlah dalam bisnis tersebut, tidak mudah beralih ke bisnis lain secara sporadis. Selanjutnya, bank syariah harus secara aktif memperbaiki proses bisnis secara komprehensif serta konsisten dan konsekuen dengan strategi bisnis dan risiko.

Ketujuh, sesuai dengan POJK, Bank Syariah wajib membentuk cadangan kerugian penurunan  nilai (CKPN) atas aset keuangan dan non keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuanagn yang berlaku. Karena itu, perbankan syariah harus  memiliki serangkaian prosedur  untuk membentuk pencadangan yang mencukupi sehingga akan lebih siap menghadapi  risiko pembiayaan terjadi. Kemudian, bank syariah harus  senantiasa menjaga tingkat modal yang cukup dan kebijakan likuiditas yang aman.

Strategi kedelapan, melakukan monitoring yang intensif dan kuat. Dalam kondisi nasabah lancar sekalipun monitoring tetap dilakukan. Monitoring pembiayaan yang lancar merupakan pembinaan yang terus menerus dilakukan kepada nasabah. Strategi ini seharusnya dilakukan oleh bank-bank syariah yang rendah NPF. Fokus dan prioritas atas nasabah dengan jumlah pembiayaan yang besar.

Melalui strategi ini, perbankan syariah, mengembangkan sistem monitoring yang lengkap di antaranya membentuk unit khusus monitoring & collection di pusat dan cabang, sistem Traffic Light pembiayaan, dan pengembangan aplikasi collection untuk segmen konsumer. (Slide Bank BNIS 2015). Bank syariah harus membuat clustering dan mengelompokkan kualitas pembiayaan berdasarkan kategori collectebility 2 sampai 5, selanjutnya menentukan strategi aksi untuk menghadapi masing-masing pembiayaan tersebut. Bank-bank syariah perlu memonitor semua nasabah pembiayaan baik pembiayaan yang lancar maupun yang bermasalah, dan melakukan quick action atas setiap nasabah bermasalah. Pisahkan nasabah berdasarkan sektor usaha dan industri dan melakukan tindakan cepat atas setiap nasabah yang bermasalah. Harus pula dicatat bahwa Bank tidak membiarkan atau menutup-nutupi adanya pembiayaan bermasalah. Bank syariah harus melakukan penilaian secara berkala terhadap daftar pembiayaan dalam pengawasan khusus termasuk hasil penyelesaiannya

Tiga tingkatan NPL yang harus diselesaikan oleh bank yaitu pembiayaan kurang lancar, diragukan dan kredit macet, beberapa tingkatan tersebut bisa diselesaikan dengan cara yang berbeda.

Jika masih dalam status kurang lancar, hal ini bisa selesaikan dengan cara menagih kepada nasabah bersangkutan, sebelumnya bisa melalui telepon, sms  ataupun surat pemberitahuan.

Pembiayaan yang diragukan, berada di tengah-tengah masalah kredit yang serius. Bank syariah  bisa menyelesaikan menyelesaikan kualitas yang  diragukan ini dengan mendatangi langsung nasabah yang bersangkutan, dalam hal ini pihak nasabah dan bank bisa melakukan perjanjian tertulis dimana nasabah akan melunasi tunggakan kepada bank pada waktu yang telah ditentukan.

Kesepuluh, Bank harus mampu menetapkan dan/atau memilih bentuk strategi penyelamatan/penyelesaian pembiayaan bermasalah yang berdasarkan pembuktian secara kuantitatif dan ini merupakan alternatif terbaik

Kesebelas, bank syariah harus memiliki Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (Pedoman SPP) atau lebih dikenal dengan istilah Pedoman Whistleblowing System yang dapat digunakan perbankan syariah dalam mengembangkan manual sistem pelaporan pelanggaran di perbankan syariah.

Tujuan dari Pedoman ini adalah menyediakan suatu panduan bagi perbankan syariah untuk menerapkan dan mengelola suatu Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS). Panduan ini sifatnya generik, sehingga perbankan syariah bisa mengembangkan sendiri sesuai kebutuhan dan keunikan perusahaan masing-masing. Diharapkan pedoman ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan pelaksanaan Corporate Governance di perbankan syariah Indonesia. Sistem Whistle Blowing System (WBS) dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi adanya risiko operasional di dalam proses pembiayaan yang disebabkan  oleh human error / SDM.

Terakhir yang perlu diperhatikan, dalam menghadapi pembiayaan bermasalah Bank tidak boleh melakukan penyelesaian pembiayaan bermasalah semata-mata dengan cara plafondering.Plafondering adalah kapitalisasimargin dan biaya bank yang tidak dapat dilunasi oleh nasabah debitur. Biaya dan margin tertunggak tersebut ditutup dengan menaikkan limit pembiayaan nasabah sehingga tunggakan tidak terlihat lagi karena telah berubah manjadi pembiayaan  efektif (baki debet) atau tambahan hutang dalam batas limit pembiayaan yang baru. Penyelamatan pembiayaan  dengan plafondering tidak diizinkan oleh Bank Indonesia dan OJK. yaitu : tunggakan Verdana","sans-serif";Times New Roman";">/denda menjadi pokok baru, dan kolektibilitas langsung menjadi lancar. (Penulis Dosen Pascasarjana UI) 

Copyright © 2024 Iqtishad Consulting
Truly Partner for Sharia Innovative Product
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Perbankan dan Keuangan Syariah
All Right Reserved
IQTISHAD CONSULTING